Hukum Investasi Emas Dalam Islam, memang selalu menjadi topik hangat yang selalu dibahas dalam musyawarah. Hal tersebut karena tidak lepas dari beberapa pertanyaan dari kalangan umat muslim.
Apakah boleh investasi emas dalam islam? Bagaimana hukumnya kredit emas dalam Islam? Nah, untuk mencoba menjawab pertanyaan tersebut, maka kami mencoba untuk mencari referensi yang sekiranya dibutuhkan.
Seperti yang kita ketahui, di zaman yang sudah serba canggih seperti sekarang ini, ada begitu banyak jenis investasi yang bisa dipilih.
Lantaran hal tersebut dipermudah dengan perkembangan teknologi dan juga beberapa hal yang memungkinkan pada investor untuk menanamkan modalnya.
Baik dari sisi investasi emas, saham, properti, dan lain sebagainya. Berbagai macam investasi tersebut, juga menawarkaa keuntungan dan kelebihan yang berbeda.
Fokus pada investasi emas, menjadi suatu barang yang memang sudah dimanfaatkan sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu. Nilainya pun diklaim lebih kebal akan dampak inflasi, bahkan cenderung semakin naik setiap tahunnya.
Karena kondisi tersebut, semakin banyak orang yang tertarik untuk berinvestasi di dunia logam mulia tersebut. Pasalnya dari sisi perawatan, juga bisa dilakukan dengan mudah, bahkan dijadikan perhiasan.
Hukum Investasi Emas Dalam Islam
Pihak pemerintah Indonesia sudah melegalkan praktek investasi dengan beberapa peraturan yang dicantumkan pada Undang-undang No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Surat Edaran BI Nomor 14/7/DPBS tanggal 29 Februari 2012 tentang Produk Qardh Beragunan Emas bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.
Didukung dengan Fatwa DSN-MUI No.77/DSN-MUI/VI/2010 tentang Jual-Beli Emas Secara tidak tunai, dan Fatwa DSN-MUI tentang Rahn Emas dalam kajian ekonomi Islam.
Sebagai calon investor diperkenalkan dengan istilah barang ribawi (Ashnaf Ribawiyah), yang bentuknya terbagi 6 jenis. Mencakup emas, perak, gandung halus, kurma, gandum kasar, dan garam.
Bagaimana penilaian Islam terkait investasi dan jual beli emas? Apa sudah sesuai dengan syariat atau hukum Islam?
Ketika meminta pendapat dari para Ulama, tentu memunyai perspektif yang berbeda. Perselisihan mencakup pada penimbangan (berat), status barang ribawi pada emas dan perak, dll.
Dalam hal ini, terdapat 2 pendapat yang berbeda. Yang pertama ialah membolehkan, perhiasan atau emas di perjual-belikan secara kredit, lantaran statusnya menjadi komoditas (sil’ah). Serta bukan sebagai alat tukar yang berarti bukan barang ribawi. Sehingga tidak berlaku aturan barang riba tersebut.
Salah satu pendapat Syaikhul Islam, Ibnul Qotim, dan Syaikh Abdurrahman as-Sa’di. Tertuang dalam al-Ikhtiyarat, Syaikhul Islam menyebut :
“Boleh menjual emas atau perak yang dibentuk (perhiasan) dengan emas sejenisnya, tanpa disyaratkan adanya kesamaan kuantitas. Dan adanya selisih itu sebagai ganti dari bentuk yang berbeda, dan ini bukan riba”. (al-Ikhtiyarat, hlm. 473).
Sedangkan Ibnul Qoyim dalam I’lamul Muwaqqi’in menyebut :
“Bahwa perhiasan yang mubah, ketika diproduksi dengan cara yang mubah, berubah statusnya menjadi jenis pakaian dan barang. Bukan lagi mata uang. Karena itu, tidak wajib dizakati dan tidak berlaku hukum barang ribawi, ketika ditukar antara perhiasan dengan uang. Sebagaimana tidak berlaku aturan ribawi antara uang dengan barang lainnya, meskipun tidak sejenis. Karena, dengan proses produksi menyebabkan fungsi emas tidak lagi mata uang tapi menjadi barang dagangan.” (I’lamul Muwaqqi’in, 2/160).
Sedangkan untuk pendapat yang kedua, tidak memperbolehkan jual beli emas atau pun perak secara kredit. Baik saat emas menjadi alat tukar ataupun sebagai barang komoditi (perhiasan).
Lantaran emas ataupun perak, akan selalu menjadi barang ribawi, sekalipun ia tidak dijadikan sebagai alat tukar. Hal ini merupakan pendapat dari jumhur ulama, madzhab Hanafiah, Malikiah, Syafiiyah, dan Hambali.
Pendapat tersebut juga sejalan dengan hadits dari Fadhalah bin Ubaid Radhiyallahu ‘anhu. Pada peristiwa Khaibar, aku membeli kalung emas yang ada permatanya seharga 12 dinar. Kemudian aku pisahkan, ternyata emasnya lebih dari 12 dinar.
Aku sampaikan kondisi tersebut pada Nabi Muhammad SAW, beliau memerintahkan : “Jangan dijual belikan sampai dipisahkan.” (HR. Muslim 4160 & Ahmad 24689).
Rasul memerintahkan untuk dipisahkan, supaya diketahui beratnya, sehingga dimungkinkan untuk dijual dengan dinar dengan kuantitas yang sama.
Meski emas yang dimiliki Fadhalah bentuknya kalung, serta tentu bukan alat tukar, akan tetapi Rasul tetap memberlakukan sebagai barang ribawi.
Oleh karena itu, beratnya harus diketahui saat hendak dijual. Sabda Nabi Muhammad SAW :
“Jika emas dibarter dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum bur (gandum halus) ditukar dengan gandum bur, gandum syair (kasar) ditukar dengan gandum syair, korma ditukar dengan korma, garam dibarter dengan garam, maka takarannya harus sama dan tunai. Jika benda yang dibarterkan berbeda maka takarannya boleh sesuka hati kalian asalkan dari tangan ke tangan (tunai).” (HR. Muslim 4147).
Yang perlu digaris bawahi dengan adanya ketentuan Nabi Muhammas SAW ialah, ketika benda riba yang dibarter berbeda, maka takarannya bisa sesuka hati asal dari tangan ke tangan (tunai).
Pasalnya, jual beli emas dengan hanya berupa surat kepemilikan, secara hakekat jual beli tersebut merupakan tukar menukar antara emas dan uang. Hal etrsebut berarti tukar menukar barang ribawi yang dasarnya sama. Syaratnya ialah harus dilakukan dari tangan ke tangan.
Intinya harus dijauhkan dengan transaksi benda fiktif, yang termasuk didalamnya ialah emas. Meski secara Islam dibenarkan, asal ada zakat sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Sedangkan dari sisi penjualan emas simpanan, ketika harga tinggi dengan tujuan untuk dijual kembali. Maka kondisi tersebut tidak dilarang oleh agama.
Karena sudah menjadi tabiat manusia untuk mencari sebuah keuntungan selama hal tersebut tidak menimbulkan kerugian pada pihak lain.
Dalam kitab Bughyah al Mustarsyidin, Sayyid Abdurrohman bin Muhammad bin Husain bin Umar menyatakan :
“Diperbolehkan bagi pemilik barang mempergunakan barangnya dengan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya”.
Dalam hal ini, ada begitu banyak kesimpulan yang bisa diambil. Bahkan masih banyak pendapat para ulama terkait dengan jual beli atau investasi emas tersebut.
Namun dari sisi penilaian kami, Investasi bisa dilakukan dengan membeli emas (berbentuk), baik dalam bentuk batangan ataupun perhiasan.
Kemudian bisa dijual kembali ketika harga emas semakin tinggi. Beda halnya dengan hanya yang memperoleh surat kepemilikan, yang bisa dikatakan sebagai barang fiktif tanpa ada barang fisik.
Sekian dari kami, salam sukses investasi.